Sambutan Selamat Datang

Selamat datang di "Garry Ariel Blog". Kritik dan saran dari Anda sangat saya harapkan untuk terus meningkatkan kualitas dari blog ini, terimakasih :) Ruby

Selasa, 05 Februari 2013

Kota Yogyakarta Menyatukan Dua Insan

Indahnya fajar pagi itu, menyambut datangnya sebuah hari yang baru. Gusti, seorang siswa kelas 12 dari salah satu SMA ternama di Jakarta Selatan, beranjak dari tempat tidurnya dan merapikannya. Segeralah ia mandi dan kemudian makan, karena hari itu ia harus pergi ke sekolah layaknya hari-hari biasa. Dengan naik kendaraan umum, ia pergi kesekolahnya yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer dari rumahnya.
           
Hari itu, hari Kamis kedua pada bulan September. Hari yang bagi Gusti saat itu adalah hari yang biasa saja. Namun yang membuatnya berbeda adalah banyaknya ulangan dan tugas yang diberikan. Meski demikian, ia tetap semangat menghadapi hari itu. Maklumlah, ia sangat berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada. Sebuah universitas terbaik di Indonesia saat itu yang terletak di daerah Yogyakarta.
            
Disekolahnya, Gusti terkenal sebagai siswa yang rajin dan pintar. Ia sering mendapatkan peringkat 10 besar dikelasnya. Terkhusus untuk mata pelajaran matematika. Ia sering mengikuti dan menjuarai berbagai kompetisi matematika. Bahkan, karena hobi dan bakatnya itu, ia pun membuat sebuah akun twitter yang bernuansakan matematika. Akun itu dimaksudkan sebagai tempat untuk saling berbagi ilmu matematika. 
            
Akhirnya, bel sekolah pun berbunyi. Menandai usainya pelajaran hari itu. Tugas dan ulangan yang bertumpuk hari itupun berakhir. Gusti pun langsung pulang. Setibanya dirumah, Gusti segera makan dan beristirahat untuk melepaskan penat di pikirannya. Ia tidur dengan sangat nyenyaknya.
            
Dua setengah jam kemudian, tepatnya pukul 7 malam, ia bangun. Ia segera merapikan dan menyiapkan buku-buku yang akan dipakainya belajar esok hari. Selain itu, Gusti juga mengerjakan beberapa tugas untuk satu minggu kedepan, agar tugasnya tidak bertumpuk nantinya.
            
Selesai mengerjakan tugas-tugasnya, Gusti membuka akun twitter-nya yang jarang ia buka karena kesibukkannya saat itu. Malam itulah, malam dimana seorang perempuan yang sebaya dengannya mem-follow akun twitter-nya. Ia bernama Anastasia, seorang perempuan kelas 10 yang tinggal di sebuah daerah dekat Yogyakarta. Anastasia meminta agar Gusti mem-follback akunnya. Gusti pun mem-follback nya.
            
Sejenak, Gusti mengamati akun Anastasia. Dan sepertinya, ia sudah tak asing lagi dengan perempuan tersebut. Ia merasa pernah melihat akun tersebut sebelumnya. Ya, ternyata memang benar. Anastasia adalah follower dari akun twitter Gusti yang satunya, yaitu akun twitter matematikanya.     
            
Gusti bersikap biasa-biasa saja. Tak ada yang spesial yang Gusti rasakan saat itu. Percakapan pun tidak ada.
           
Dua minggu pun berlalu. Gusti melewati hari-harinya seperti biasa. Sampai akhirnya, sebuah kabar palsu mengenai dirinya beredar disekolahnya. Kabar itu bercerita mengenai dirinya yang berpacaran dengan seseorang. Padahal saat itu, Gusti sedang tidak berpacaran dengan siapapun. Bahkan, ia juga sedang tidak jatuh cinta ke seseorangpun. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya, siapa yang sebenarnya membuat kabar palsu ini.
            
“Lu pada tau nggak siapa yang buat rumor aneh tentang gue?”, tanya Gusti pada teman-temannya untuk mencaritau siapa yang membuat kabar palsu tersebut. Namun bukan jawaban yang ia harapkan yang didapatnya, malah sorakkan yang diterima serta pertanyaan-pertanyaan yang semakin bermuncullan seputar kabar tersebut.
“Cie Gusti! Sejak kapan jadian? Kok nggak bilang-bilang sih?”
“Iya nih! Lu jadian sama siapa dah, kok nggak ngomong-ngomong?”
“Kita tunggu PJ nya yaa…!” 
Gusti pun menjawab, “Serius nih gw tanyanya! Gue nggak jadian sama siapa-siapa! Siapa sih yang buat rumor palsu ini?”

Meski Gusti sudah mengatakan kepada teman-temannya bahwa  kabar itu palsu, teman-temannya tetap tidak percaya. Mereka lebih memercayai kabar palsu tersebut. Gusti merasa semakin tidak nyaman dengan kabar tersebut. Ditambah lagi, kabar itu semakin merebak setiap harinya. Sampai pada suatu malam, ia mengekspresikannya dengan men-tweet apa yang ia rasakan saat itu. Anastasia yang juga sedang on twitter saat itu, membaca tweet Gusti. Ia merasa penasaran dengan apa yang terjadi pada Gusti. Anastasia pun me-reply tweet Gusti dengan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Percakapan pun terjadi.
            
Gusti yang saat itu tidak mengenal Anastasia lebih dari namanya yang tercantum dan fotonya, menjawab pertanyaan tersebut dengan singkat dan berusaha menutupi apa yang sebenarnya ia alami. Dengan maksud agar percakapan tersebut segera berhenti, karena ia merasa sangat asing dengan perempuan tersebut. Namun demikian, percakapan terus berlanjut, dan Anastasia semakin penasaran. “Siapa sih ni orang? Perhatian banget sama gue. Padahal kenal aja nggak, ketemu juga nggak pernah.”, pikir Gusti dalam hatinya.
            
Namun lama-kelamaan, Gusti pun mulai menikmati setiap percakapannya dengan Anastasia. Gusti semakin terbuka dengan keadaannya. Ia menceritakan semua yang terjadi padanya. Anastasia pun meresponnya dengan sangat baik dan ramah. Ia memerhatikan setiap hal yang diceritakan oleh Gusti. Ia juga memberikan beberapa saran untuk mengatasi masalahnya.
            
Esok harinya, Gusti mencoba beberapa saran yang diberikan oleh Anastasia. Saran-saran tersebut ternyata cukup berhasil. Teman-temannya pun, kini sudah tidak memercayai kabar palsu yang sempat beredar. Mereka juga sudah mulai membantu Gusti untuk mencari tau, siapa yang sebenarnya membuat kabar palsu ini pertama kali. Dalam beberapa hari, mereka pun menemukan siapa pembuatnya, dan kabar palsu itu pun akhirnya benar-benar hilang.
            
Gusti merasa lega dan tenang. Dan meskipun pelakunya ternyata salah seorang teman baiknya sendiri, ia tetap tidak marah kepadanya. Ia hanya meminta agar kejadian ini tidak diulanginya lagi. Meskipun alasannya hanya sebagi gurauan semata saat itu.
            
Gusti pun merasa cukup tertolong dengan saran dari Anastasia. Melalui akun twitter-nya, ia pun mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Anastasia.
            
Semenjak saat itu, hubungan mereka berdua semakin dekat. Mereka terlihat semakin akrab. Mereka mulai bertanya identitas diri mereka, mencari informasi, dan mencoba untuk mengenal lebih dalam antara satu sama lain.
            
Tak lama, merekapun saling bertukar nomor handphone. Intensitas percakapan mereka meningkat. Frekuensi komunikasi mereka bertambah. Setiap harinya, mereka sms-an dengan topik yang berbeda-beda.
            
Perasaan Gusti pun mulai berubah terhadap Anastasia. Ia mulai tertarik dengannya. Benih-benih cinta mulai tumbuh dalam hatinya. Perhatian yang diberikan olehnya, membuat hati Gusti terpikat. Anastasia pun juga ternyata mengalami hal yang sama. Kedekatannya selama ini dengan Gusti, membuat dirinya merasa tertarik terhadap Gusti.
           
Meski tak pernah bertemu secara langsung, perasaan mereka terus bertumbuh setiap harinya. Walaupun hanya teks singkat dari sms yang saling mereka kirimkan, mereka terlihat semakin mencintai satu sama lain. Tetapi saat itu, baik Gusti maupun Anastasia tidak mengetahui bahwa mereka sama-sama mencintai. Mereka hanya menerka-nerka, bagaimana perasaan meraka yang sebenarnya saat itu antara satu sama lain.
            
Hari-hari terus berlalu, dan sampailah pada hari Minggu ketiga bulan November. Hari itu mungkin menjadi hari yang sangat berkesan bagi Gusti dan Anastasia. Perasaan yang tumbuh diantara mereka, sudah tak sanggup tuk terus dipendam. Dan akhirnya, Gusti pun mengungkapkan perasaannya pada Anastasia melalui sms. Gusti juga bertanya, apakah Anastasia mau melanjutkan hubungannya dengan Gusti ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu berpacaran.
             
Anastasia berpikir sejenak. Apakah ia akan menerima Gusti, atau menolaknya. Meski secara keinginan hatinya, ia ingin menerima Gusti dan menjadi pacarnya, namun disisi lain, ia juga berpikir bagaimana kelanjutannya apabila ia menerimanya. Mungkinkah hubungan ini akan terus bertahan. Ataukah akan terputus ditengah jalan.
            
Mereka juga menyadari, keadaan sepertinya memang tidak mendukung. Mereka belum pernah bertemu, meski hanya sekejap. Diantara mereka pun, terbentang jarak ratusan kilometer.
            
Sempat terdiam sejenak, akhirnya handphone milik Gusti pun bergetar. Sebuah pesan singkat masuk ke handphone-nya. Pesan itu dari Anastasia.
            
“Jujur aku sayang sama kamu. Aku juga mau jadi pacar kamu. Tapi maaf, kalau kita berpacaran sejak saat ini, rasanya terlalu terburu-buru. Keadaan kita juga sepertinya tidak mendukung. Tapi aku yakin, kalau kita memang ditakdirkan untuk bersama, suatu saat nanti, kita kan dipertemukan secara nyata. Dan sampai waktunya nanti, kalau ada seseorang yang memang lebih bisa membahagiakan kamu, menyayangi kamu, dan selalu ada disampingmu, tolong kamu buka hati kamu untuk dia. Aku nggak mau jadi beban untuk kamu. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku harap, kita tetap bisa menjadi kita seperti saat ini.”
            
Kecewa, namun mungkin itulah yang terbaik. Gusti mencoba memahaminya perlahan. Dan meski demikian, perasaannya terhadap Anastasia tidaklah berubah. Ia yakin, bahwa Anastasia lah pilihan hatinya. Keinginan dalam hatinya sudah bulat, ia akan tetap menjaga perasaannya sampai pada waktunya, walaupun juga ada keraguan, apakah benar akan ada waktunya.

Disisi lain, Anastasia pun juga melakukan hal yang sama. Ia bertekad untuk menjaga perasaannya pada Gusti ditengah ketidakpastian waktu. Ia juga yakin, bahwa Gusti lah pilihan hatinya. Sejak saat itu, komunikasi mereka masih terus berlanjut, hanya saja frekuensinya yang sedikit berkurang.
            
Hari-hari yang Gusti lalui menjadi terasa lebih sepi. Ia menggantungkan harapannya pada sebuah pengharapan semu yang bisa saja terjadi atau mungkin juga tidak. Semangat yang biasanya terlihat di raut wajahnya, kini mulai meredup. Teman-temannya pun menjadi bingung dengan apa yang terjadi pada Gusti. Mereka belum pernah melihat keadaan Gusti yang sekarang ini. Gusti lebih sering menyendiri dikelas. Padahal biasanya, ia selalu berkumpul dengan teman-temannya, khususnya saat jam istirahat.
            “ Kenapa lu Gus? Akhir-akhir ini kok lu kayaknya nggak semangat gitu?” sapa seorang temannya menghampiri tempat duduk Gusti.
            “Iya nih, ada apa sih Gus? Cerita-cerita dong!” tambah satu temannya yang lain.
            “Nggak kok. Nggak kenapa-napa.”
            “Nggak usah ditutupin Gus. Kita tau kok kalau lu lagi ada masalah. Cerita aja. Siapa tau kita bisa bantu.”
            Gusti pun lalu menceritakan apa yang terjadi saat itu. Ia menceritakan semuanya dari  awal sampai akhir. Kedua temannya pun mendengarkan dan mencoba memberikan semangat padanya.
            “Gapapa Gus. Menurut gue, keputusan yang dia ambil itu bijak kok. Dan jangan terlalu cepet putus harapan. Kalau lu yakin, kejar terus. Bener kata dia, kalau emang lu ditakdirin untuk bersama, pasti Tuhan akan mempertemukan lu dengan dia suatu saat nanti.”
            “Tetep semangat ya Gus! Emang susah sih, tapi gue juga merasa, ini yang terbaik buat lu berdua.”
            
Kedua temannya pun  kemudian beranjak. Gusti pun mencoba untuk mengumpulkan kembali semangat pada dirinya. Dan pada saat itu, terpikirlah di benaknya akan suatu hal, yaitu universitas tujuannya. Ya, UGM, lokasinya di Yogyakarta dan tak jauh dari tempat tinggal Anastasia.
            
Harapan pun mulai kembali terbangun. Masih ada sebuah peluang besar yang menanti. Masih ada kesempatan untuk bertemu Anastasia, dan mewujudkan apa yang menjadi impian di hatinya saat itu.
            
Semangat yang sempat pudar, kini mulai kembali bercahaya dalam dirinya. Ia berusaha untuk memaksimalkan kesempatan yang masih ada. Sejak saat itu, asanya dalam belajar yang sempat berkurang, kini kembali meningkat, bahkan lebih dari sebelum-sebelumnya. Ia menambah lagi waktu belajarnya, demi untuk bisa masuk ke Universitas pilihannya. Hal yang tadinya menjatuhkan semangatnya, kini menjadi motivasi tersendiri baginya.

            “Ciee udah balik lagi nih kayaknya semangatnya!” sapa seorang temannya melihat perubahan yang terjadi pada Gusti.
            “Iya. Gue udah ketemu solusi akan masalah gue. Makasih ya udah kasi gue semangat waktu itu!”
            “Iya, sama-sama. Syukur deh kalau kayak gitu.”
            Hari-haripun berlalu dengan semangat yang membara dalam diri Gusti. Dan semester 5 pun berakhir. Masuklah pada semester keenam, waktu-waktu yang sangat menentukan langkah pendidikan Gusti selanjutnya. Dan tentunya, menentukan apakah impian di hatinya akan terwujud atau tidak. Waktu-waktu itupun ia lewati dengan motivasi dan keyakinan, bahwa ia pasti bisa. Ujian-ujian yang harus dialui, ia tempuh dengan pengharapan yang tinggi. Setiap usahanya, tak lupa ia barengi dengan doa.
            
Akhirnya, tibalah pada hari pengumuman mengenai hasil seleksi masuk universitas, sehari setelah hari pengumuman kelulusan, dimana Gusti dinyatakan lulus dengan hasil terbaik. Pengumuman tersebut dicetak pada lembaran-lembaran kertas yang ditempelkan pada sebuah papan. Segera Gusti melihat kertas-kertas tersebut, dan mengamatinya satu per satu. Semua usaha dan doanya selama ini, kini akan nyata pada lembaran kertas tersebut.
            
Betapa kagetnya Gusti, ketika ia melihat namanya tercantum pada salah satu kertas yang tertempel tersebut. Betapa gembiranya ia, ketika tinta hitam yang tertera, menuliskan namanya serta nama universitas yang selama ini ia inginkan. Seketika itu, tergambarlah di pikirannya, sebuah universitas yang megah, yang akan menjadi tempatnya menimba ilmu beberapa tahun kedepan. Terlukis pula, suasana alam nan indah di kota Yogyakarta, yang akan menjadi tempat tinggalnya beberapa waktu lamanya.
            
Saat itu juga, ia pun meluangkan waktunya untuk menelpon Anastasia. Ia berniat untuk memberitaukan kabar sukacita itu padanya. Dan setelah Anastasia mendengar kabar itu, turut bergembiralah dirinya. Harapan dan doanya selama ini tidaklah sia-sia. Ia pun semakin yakin, bahwa Gusti lah benar-benar pilihan hatinya.
            
Waktu terus berputar, sampai akhirnya tibalah bulan Juli akhir, dua minggu sebelum OSPEK. Gusti pun berangkat pada hari Senin minggu itu sekitar pukul 6 sore menuju Yogyakarta dengan menggunakan pesawat. Ia sudah tak sabar lagi ingin bertemu dengan sang pujaan hatinya secara nyata.

Sepanjang perjalanan, ia pun berpikir dan merencanakan waktu dan tempat yang pas untuk bertemu. Meskipun ia belum pernah secara langsung ke Yogyakarta, namun ia sudah cukup banyak mengetahui informasi-informasi tempat yang indah di Yogyakarta.

Setelah kurang lebih satu setengah jam di perjalanan, tibalah Gusti di Bandara Adi Sutjipto. Tante Dina, seorang adik dari ibunya Gusti, sudah bersiap di bandara untuk menjemput Gusti kerumahnya. Selama menimba ilmu di UGM, Gusti akan tinggal bersama tante Dina.

Segeralah mereka masuk kedalam mobil milik tante Dina, dan bergerak menuju kediamannya. Selama perjalanan, terlihat suasana alam yang begitu eloknya. Bangunan-bangunan yang tertata di sepanjang jalan, sangat memikat hati. Sejuknya udara malam itu, menambah pesona tersendiri bagi kota yang mendapat sebutan ‘kota pelajar’ itu. Gusti pun tak melewatkan kesempatan itu untuk mengamati pemandangan sekitarnya.

“Keren juga ya pemandangan di kota Jogja. Gak nyesel pilih ngelanjutin studi disini.” Sapa Gusti memecah keheningan di mobil.
“Iya, tante berani jamin, kamu bakalan betah deh disini.” Balas Tante Dina sambil tersenyum kearah Gusti.
“Oiya Tan, tempat-tempat yang bagus buat jalan-jalan di Jogja, kira-kira dimana aja ya?”
“Emm, banyak sih. Umumnya Malioboro, Pantai Parangtritis, Borobudur, ya pokoknya banyak deh. Tapi kalau tempat yang jadi favorit tante sih Alun-Alun Kidul. Tempatnya paling pas deh kalau buat sekedar jalan-jalan atau nggak ngumpul bareng temen.”
“Wah, jadi pingin coba ngunjungin satu-satu nih.” balas Gusti sambil tertawa kecil.
“Besok agak maleman, tante ajak kamu jalan-jalan ke tempat favorit tante deh.”
“Serius nih tante? Makasih ya.”

Gusti menjadi tak sabar menunggu hari esok. Ia ingin segera melihat dengan matanya sendiri, bagaimana keindahan tempat favorit tantenya tersebut. Dan mungkin saja, tempat itu juga bisa menjadi tempat peretmuan yang pas untuknya dan Anastasia.

Esok sorenya sekitar pukul 05.30, mereka pun bersiap-siap untuk berangkat menuju Alun-Alun Kidul. Tempatnya tidaklah terlalu jauh dari rumah tante Dina. Hanya sekitar 30 menit waktu yang diperlukan untuk sampai disana.

Dan setibanya disana, apa yang Gusti dengar dari tante Dina terbukti benar. Tempat itu sangatlah pas untuk berjalan-jalan ataupun hanya untuk kumpul. Ditemani oleh dua batang pohon beringin yang besar, dan penampakkan alam sekitarnya yang memukau, Gusti pun memutuskan untuk menjadikan tempat ini sebagai tempat pertemuan pertamanya dengan Anastasia.

Malam itu juga, ia pun menelpon Anastasia untuk memberitaukan rencana pertemuan mereka. Pertemuan itu direncanakan oleh Gusti pada Sabtu itu juga pukul 06.30 malam. Anastasia pun setuju dengan waktu dan tempat yang dipilihnya.

Debaran jantung keduanya mulai meningkat. Senang dan haru bercampur menjadi satu. Hari yang telah lama mereka nanti-nantikan ternyata datang, dan sudah didepan mata. Mereka pun mempersiapkan diri mereka untuk pertemuan nyata yang pertama itu.

Malam itupun berlalu. Rabu, Kamis, dan Jumat pun terasa sangat cepat berjalan. Hingga tibalah hari Sabtu. Sabtu yang mungkin akan menjadi Sabtu yang paling berkesan bagi Gusti maupun Anastasia.

Sekitar pukul 05.30 sore itu, Gusti sudah bersiap-siap untuk berangkat. Ia bermaksud untuk tiba lebih dahulu.
“Gus, mau kemana kamu, udah rapi begitu?” tanya tante Dina.
“Mau pergi jalan-jalan ke Alun-Alun Kidul sebentar Tan.”
“Oh, mau tante anterin nggak?”
“Nggak usah tan. Aku berangkat sendiri aja.”
“Yaudah, hati-hati ya! Jangan pulang terlalu malem.”
“Siap Tan!”
            
Gusti pun berangkat menuju Alun-Alun Kidul. Ia mulai merasa gugup. Namun rasanya tak sebanding dengan kegembiraan yang saat itu mewarnai hatinya.
            
Tiga puluh lima menit pun berlalu. Gusti pun tiba di Alun-Alun Kidul. Didekat salah satu pohon beringin yang besar, ia menunggu Anastasia.
            
Tak lama, terlihatlah seorang perempuan datang berjalan mendekati tempat Gusti menunggu. Setiap langkahnya, semakin terlihat raut muka perempuan tersebut. Gusti mencoba mengenalinya. Sampai akhirnya, perempuan itu tiba dan menyapanya.
            “Kamu Gusti kan?”
            “Iya, aku Gusti. Kamu, Anastasia kan?”
            “Iya, ini aku! Aku nggak nyangka akhirnya bisa ketemu kamu.”
            “Udah lama aku nunggu hari ini, dan akhirnya datang juga. Apa yang kamu bilang waktu itu ternyata bener. Kalau kita ditakdirin untuk bersama, kita akan dipertemukan suatu saat nanti. Dan saat itu adalah hari ini.”
            “Iya, hari yang udah lama banget aku tunggu. Sempat ku berpikir kalau hari ini tak akan pernah datang, tapi ternyata ada dan datang.”
            “Aku rasa inilah waktunya. Semenjak November tahun lalu, aku masih tetap menjaga perasaan ini ke kamu. Aku sayang kamu. Maukah kamu jadi pacarku?”
            “Iya, aku mau. Aku juga masih menjaga perasaan ku ke kamu. Dan aku rasa, keadaan saat ini sudah berbeda dari waktu itu. Tak ada lagi yang menghalangi kita, bahkan jarak sekalipun tidaklah. Terima kasih ya, kamu udah setia jaga perasaanmu untukku.”
            
Seketika itu juga, meluaplah kegembiraan mereka. Keharuan juga turut menyelimuti mereka malam itu. Terangnya sinar bintang dan rembulan pun turut menambah kesan yang tak terlupakan. Alun-Alun itu menjadi saksi bisu, bertahannya sebuah cinta yang langka, cinta yang dimulai dari dunia maya. Kota Yogyakarta pun menjadi bukti, berawalnya kisah cinta mereka.



Oleh:
Garry Ariel Cussoy


“Jika kita ditakdirkan lahir untuk hidup bersama, percayalah bahwa tak akan ada satu hal pun yang dapat menghalangi kita untuk bersama.” -Garry Ariel Cussoy-